SELAMAT DATANG PEMBUKA

HAI TEMAN-TEMAN NAMAKU NAUFAL, NAMA LENGKAPKU NAUFAL RAMADHAN SETIAWAN, AKU MEMBUAT BLOG INI UNTUK MENDIDIK, INSYALLAH MENDIDIK BANGSA INDOENESIA. AKU AKAN MEMASUKKAN SEJARAH-SEJARAH MUSEUM INDONESIA,TENTANG BIOLOGI,FISIKA DAN LAINNYA. TEMAN-TEMAN YANG MEMBUKA BLOG INI TOLONG KLIK LIKE YA........... SUPAYA BLOG INI BISA JAYA SEPERTI NEGARA INDONESIA INI.
TERIMA KASIH SUDAH MEMBACA TULISAN INI,SEKALI LAGI TERIMA KASIH.ASSALAMUALAIKUM.WR.WB

Jumat, 06 Juli 2012

SEJARAH MUSEUM ALAM BANDUNG

Kota Bandung menjelang dua abad. 25 September tahun ini usianya genap ke-198. Apakah warga Bandung bisa mengetahui dengan pasti landasan apa tanggal tersebut dijadikan hari jadi Kota Bandung? Saya yakin, jika disurvei, lebih dari setengah penduduk kota akan menjawab tidak tahu.
Ketidakpahaman penduduk Bandung akan hari jadi kotanya rasanya wajar saja jika tidak terdapat sarana yang dapat membuat warga kota mengetahuinya. Adakah satu tanda di pelosok kota yang mengingatkan itu? Kilometer Nol di Jalan Asia Afrika pun hanya menceritakan mengapa di titik tersebut ditentukan awal pengukuran jarak dari Kota Bandung, tidak sebagai pengingat lahirnya sebuah kota. Hampir dua ratus tahun Kota Bandung tumbuh berkembang, kenangannya seolah-olah hilang tererosi dari benak warga kota, seperti batu basalt di Curug Dago yang tergerus arus Cikapundung.
Ketika saya masih bocah tumbuh di Bandung, masih terbayang bagaimana ramainya Situ Aksan, satu-satunya danau yang masih tersisa di Kota Bandung pada 1972, sebagai tempat rekreasi favorit. Itulah pengingat terakhir bahwa Bandung pernah menjadi danau luas di zaman purbakala sebelum situ itu diurug menjadi perumahan di awal 1980-an. Masih juga terbayang ramainya alun-alun Bandung (yang benar-benar alun-alun dengan lapangan luas) oleh ledakan petasan selama Ramadhan. Masih terbayang asyiknya naik delman sekeluarga mengunjungi rumah nenek dari Jalan Pasundan ke Jalan Garuda (sekarang Jalan Nurtanio) saat Lebaran tiba. Itulah secuil kenangan indah warga kota akan perjalanan kotanya. Kenangan ini akan terpateri lebih panjang bagi warga senior yang lebih dahulu lahir atau bermukim.
Kenangan warga kota seperti itu akan hilang dengan sendirinya seiring wafatnya para warga kota jika tidak segera dilestarikan, misalnya dalam bentuk buku seperti buku-buku tentang Bandoeng tempo doeloe oleh almarhum Haryoto Kunto. Sungguh sangat besar jasa almarhum yang membuat perjalanan kota ini terabadikan untuk dapat dikenang oleh generasi ke generasi berikutnya.
Perlunya Museum Kota
Di luar Bandung, kenangan akan sebuah kota terpateri ke Niigata dan kota-kota di Jepang saat tugas belajar. Masyarakat Jepang adalah masyarakat yang selalu menghargai para leluhurnya, termasuk “leluhur alam”. Bagi mereka semua mahluk mempunyai jiwa yang patut untuk dikenang. Penghargaan itu salah satunya diwujudkan dalam bentuk museum.
Di Jepang, museum tidak melulu sebuah bangunan. Kenangan akan riwayat sebuah jembatan yang melintas Sungai Shinano di Niigata misalnya cukup diwujudkan dalam panel-panel di pojok sisi jembatan. Pembangunan Terowongan Shimizu yang menembus Pegunungan Alpen Jepang menghubungkan Tokyo – Niigata diabadikan pada bangunan museum kecil di tempat istirahat di jalan tol sebelum para pengemudi memasuki terowongan sepanjang sebelas kilometer itu.
Museum-museum tematis di pelosok kota kemudian dikompilasi pada museum kota. Isinya adalah perjalanan panjang sejarah alam dimulai sejak zaman-zaman geologis ketika kota masih berupa alam liar dengan para penghuni sebelum manusia. Bahkan kota-kota kecil setingkat kecamatan pun tidak mau kalah untuk menampilkan sejarah alam kotanya. Ada saja warga masyarakat yang mengunjungi museum kota hanya untuk tercenung memandang tinggalan-tinggalan berupa fosil, artefak, foto, maket atau apapun yang menjadi ciri perkembangan kota dari zaman ke zaman.
Bagi wisatawan, museum kota merupakan pusat informasi wisata kota. Dalam kunjungan singkat wisatawan yang kebetulan datang ke suatu kota bukan dalam paket wisata, mereka bisa menentukan destinasi mana di dalam kota yang ingin dikunjungi dari informasi yang didapat di museum kota.
Kota Bandung dengan sejarahnya yang panjang pantas memiliki museum sejarah alam kota. Koleksi museum dan informasinya dapat terrentang sejak kota yang berada di Cekungan Bandung ini masih berupa laut hingga empat juta tahun yang lalu, menjadi daratan sejak dua juta tahun yang lalu, menjadi danau sejak 125.000 tahun yang lampau, sampai mengering sejak 16.000 tahun yang lalu.
Jejak-jejak permukiman purbakala ditemukan dengan data melimpah di perbukitan Dago Pakar. Alat-alat batu dari bahan obsidian tersebar berserakan di sekitar titik geodetik KQ380 menunjukkan betapa tingginya budaya leluhur masyarakat Bandung purba sekitar 6.000 tahun yang lalu. Mereka bahkan telah piawai membuat permukiman dengan parit-parit perlindungan. Sayang, bukti-bukti itu sekarang telah banyak digilas dan diratakan mesin-mesin buldoser untuk perumahan mewah dan vila-vila! Untungnya, bukti-bukti keberadaan sang arsitek purbakala ditemukan sebagai kerangka meringkuk di Situs Gua Pawon.
Dengan berlimpahnya peninggalan artefak purbakala di Bandung Utara itu, pada 1917 pernah tercetus ide Dr. W. Docters van Leeuwen untuk mendirikan Museum Alam Terbuka Sunda (Soenda Openlucht Museum). Namun Perang Dunia II mengubur cita-cita dokter Belanda itu. Apalagi sekarang ketika arus utama pembangunan kota diarahkan kepada manfaat ekonomi secara cepat. Satu contoh mengenaskan adalah situs tumpukan batu Pasir Panyandaan di utara terminal Cicaheum, yang anehnya, tanah di sekelilingnya telah dikuasai sebagai hak milik pribadi.
Daftar isi museum akan semakin panjang setelah secara resmi Kota Bandung didirikan oleh Bupati Wiranatakusumah II di bawah pemerintahan Gubernur Jenderal Daendels 1810. Seiring dengan 200 tahun peringatan Jalan Raya Pos Anyer-Panarukan pada 2008, Bandung mencatatkan dirinya sebagai bagian dari sejarah penting masa-masa kesengsaraan penjajahan itu.
Informasi sejarah kota akan semakin lengkap terkoleksi ketika Kota Bandung memasuki Abad ke-20. Mungkin di antaranya dimulai dari Situs Curug Dago yang memberi kebanggaan kita sebagai warga kota karena pernah dikunjungi raja besar Thailand, Raja Rama V, ketika 1902 membuat prasasti batu tulis. Batu tulis kedua dibuat oleh cucunya pada 1927. Lalu tentu ketika Bandung berada pada zaman keemasannya di 1920-1930.
Kota ini pun mencatat sejarah yang wangi saat Sang Proklamator Bung Karno tinggal dan berjuang di Bandung untuk kemerdekaan. Rumah Ibu Inggit di Ciateul, kampus ITB, Penjara Banceuy di Jalan Banceuy yang sekarang hanya menyisakan sel dan gardunya saja, Gedung Indonesia Menggugat, penjara Sukamiskin, serta karya-karya arsitektur Ir. Soekarno merupakan artefak perjalanan kota ini. Setelah Kemerdekaan Republik Indonesia, sejarah Kota Bandung tercatat dengan harum. Kita tentu tidak akan pernah lupa dengan peristiwa Bandung Lautan Api 1946 dan Konferensi Asia Afrika 1955.
Tentu saja, para wali kota Bandung (dan para Bupati Bandung sebelum jadi kota) harus menjadi kenangan yang terrekam di Museum Sejarah Alam Kota Bandung. Di tangan merekalah Kota Bandung dikembangkan, terlepas apakah bersifat positif atau negatif terhadap pertumbuhan sebuah kota.
Pada kesempatan dilantiknya Pak Dada dan pak Ayi sebagai Wali Kota Bandung dan wakil pilihan rakyat, sekaranglah saatnya menjelang Bandung Dua Abad, kesempatan emas untuk mencatatkan sejarah dengan tinta emas bagi Kota Bandung. Daripada membangun mal-mal dan factory outlet yang rasanya sudah jenuh, pe-er Walikota sekarang untuk masa depan Bandung yang lebih baik adalah bagaimana mewujudkan Bandung menjadi kota yang bermartabat, genah merenah tumaninah, hijau bersih berbunga. Ruang terbuka hijau yang sudah ada seperti Babakan Siliwangi jangan lagi digusur untuk konstruksi beton. Perbanyaklah taman kota. Dirikanlah Museum Kota. Insya Allah, nama Bapak berdua akan tercatat kelak di museum sejarah alam Kota Bandung dan akan dikenang warga Bandung nanti dengan perasaan kagum. Tentu saja kalau bapak berdua berhasil mewujudkan Bandung menjadi lebih baik. ***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar